Sabtu, 09 Mei 2009

Semua Orang Memiliki Potensi untuk Berprestasi

(Belajar dari Kisah Masathosi Koshiba-Peraih Nobel Fisika tahun 2002)

Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi yang bisa dikembangkan guna mencapai prestasi. Hanya saja perlu adanya usaha-usaha untuk memaksimalkan potensi tersebut. Termasuk rangsangan dari lingkungan sekitar guna membangkitkan motivasi seseorang untuk melejitkan potensinya. Dalam dunia pendidikan sering kita menemui siswa yang menurut penilaian subyektifitas kita dianggap sebagai anak yang ‘bodoh’, karena prestasi akademiknya jeblok atau di bawah rata-rata teman lain. Tetapi bernarkah siswa itu memang ‘bodoh’??
Di sinilah seorang guru harus berperan lebih, bukan saja sebatas menyampaikan materi pelajaran namun juga harus jeli mengamati peserta didik. Seorang guru semestinya mampu menjadi konselor sekaligus motivator kepada siswa tersebut agar dapat meningkatkan prestasinya. Karena boleh jadi ‘kebodohan’ itu disebabkan kurangnya motivasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki atau memang karena faktor lain (sosial-psikologis) yang membuat potensi anak sulit berkembang.
Kita bisa belajar dari kisah Masathosi Kosiba, seorang ahli fisika yang berhasil meraih nobel pada tahun 2002. Pria yang lahir di kota Toyohashi, Jepang, pada tanggal 19 September 1926 itu semasa sekolah dianggap sebagai anak yang ‘bodoh’ karena nilai mata pelajaran matematika dan fisikanya jelek. Bahkan ada seorang gurunya yang menganggap Kosiba tidak akan mungkin bisa memahami fisika. Tetapi anggapan itu justru menumbuhkan semangat luar biasa dalam diri Kosiba untuk membuktikan bahwa ia mampu.
Sejak remaja sebetulnya ia bercita-cita bergabung di sekolah militer atau menjadi seorang musisi, sebab ia memang gemar mendengarkan musik. Kira-kira sebulan sebelum ujian militer ia terserang penyakit polio yang memaksanya untuk beristirahat. Dalam masa penyembuhan itu, seorang gurunya sempat memberikan buku yang berisi ide-ide fisikawan Albert Einstein, sehingga mendorongnya menyenangi fisika.
Ia kemudian mendaftar di University of Tokyo memilih jurusan fisika, tetapi sayang dia gagal. Kosiba tak pernah mneyerah, ia terus berusaha sampai akhirnya ia lulus ujian dan diterima. Kosiba bukanlah anak orang kaya, sehingga semasa kuliah dia harus berusaha mencari biaya untuk dirinya dan membantu keluarganya. Ia kemudian bekerja sambil menyelesaikan kuliah. Karena kesibukkannya kadang dalam satu pekan dia hanya masuk kuliah satu kali. Dengan kondisi seperti itu ada yang mengatakan dia tidak akan mungkin lulus. Namun nyatanya dia mampu lulus pada 1951.
Kosiba kemudian meneruskan belajar di Rochester University, Amerika Serikat dengan berbekal surat rekomendasi dari dosennya di Tokyo University yang secara jujur menyatakan: ‘His results are not good, but he’s not that stupid.’ (hasil pendidikan selama kuliah tidaklah bagus, tapi ia bukan seorang yang bodoh). Akhirnya ia bisa diterima di University of Rochester dan empat tahun kemudian Kosiba berhasil mendapatkan gelar Ph.D!
Setelah beberapa tahun di Amerika ia kemudian kembali ke Jepang dan mengajar di almamaternya. Saat bekerja di almameternya inilah Kosiba merancang dan membuat detektor Kamioka NDE yakni alat yang secara sederhana merupakan pendeteksi neutrino matahari. Kamioka adalah nama sebuah tambang dan NDE kependekkan dari Nucleon Decay Experiment (eksperimen untuk mengukur peluruhan nukleon). Kosiba juga berhasil mengembangkan detektor Super Kamioka NDE yakni tipe detektor yang sama, namun memiliki sensitifitas cahaya yang lebih baik dan digunakan dalam pengamatan neutrino matahari.
Kosiba dan timnya terus mengadakan berbagai percobaan sampai akhirnya berhasil membuktikan adanya partikel elementer yang disebut sebagai neutrino. Dari hasil pengamatan itu mendukung pikiran teoritis bahwa ledakan supernova dipicu oleh kegagalan gravitasi. Hasil penelitian tersebut mendorong lahirnya bidang penelitian baru dalam astrofisika, yakni astronomi neutrino.
Demikianlah, Masathosi Kosiba yang semula dicap sebagai anak ‘bodoh’, dengan usaha dan kerja keras akhirnya berhasil menyabet nobel, sebuah hadiah prestisius bagi para ilmuwan. Mungkin memang benar kata-kata penemu legendaris Thomas Alva Edison, bahwa keberhasilan itu ditentukan oleh 1% bakat dan 99% kerja keras.


Eko Triyanto
Guru SD Muhammadiyah Plembon
Cabang Dinas Kec. Minggir
Kabupaten Sleman

Tidak ada komentar: