Jumat, 26 Desember 2008

Muslim yang Produktif

“Tidak apa-apa dengan harta kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Dan kesehatan lebih baik bagi orang yang bertaqwa daripada harta kekayaan dan orang yang berjiwa baik lebih bagus daripada orang yang bergelimang rahmat (harta benda dunia).” (HR. Ibnu Majah)
Kesadaran akan penciptaan manusia sebagai khalifatullah di bumi semestinya menjadikan seorang Muslim benar-benar mengoptimalkan hidupnya dalam amal-amal (kerja-kerja) produktif. Karena seorang tidak dibalasi melainkan sesuai dengan kerja yang dilakukannya. Oleh Allah, manusia telah dianugerahi berbagai potensi dalam dirinya sebagai modal untuk melakukan kerja-kerja penuh manfaat.
Baik berupa panca indera, susunan tubuh yang dibentuk sebaik-baiknya maupun kelengkapan akal untuk berpikir yang membedakan manusia dari hewan. Kemudian ada nafsu yang mendorong manusia bergerak dinamis sekaligus membedakannya dari malaikat. Dengan semua itu, manusia dapat meraih kedudukkan melebihi malaikat jika potensi tersebut digunakan secara benar. Sebaliknya jika disia-siakan dan salah dalam menggunakannya, manusia justru akan terperosok ke dalam lembah keihinaan, lebih hina dari pada binatang.
Kemudian, Allah menciptakan alam raya lengkap dengan penetapan kondisi yang memungkinkan manusia beraktifitas dan bekerja. “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (10. Yunus [10]: 67)
Dipermudah-Nya bumi ini sebagai temapt tinggal sekaligus tempat mencari nafkah bagi manusia.
”Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al Mulk [67]: 15)
Islam mengajak kepada kaumnya untuk memanfaatkan kesempatan hidup yang dimiliki dalam amal dan ketaatan. Karena kehidupan ini kelak juga akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah diperbuat. Produktitfitas yang sesegera mungkin dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, Rasulullah bersabda, “Gunakanlah masa……………
Semua hasil kerja itu kelak akan diperlihatkan dan setiap orang dibalas sesuai dengan kadar kerja yang dilakukan. Semakin banyak kerja yang dilakukan, maka pahalanya pun akan besar. Sebaliknya orang yang malas dalam bekerja dan beramal, baginya pahala yang sedikit.
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105)
Islam juga mengajarkan pentingnya kemandirian dan memberi penghargaan yang pantas kepada orang-orang yang mau berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri. Ini kisah seorang Muhajirin bernama Abdurrahman bin ‘Auf dengan Qais bin Rabi’ seorang sahabat Anshar. Sebelum hijrah Abdurrahman bin ‘Auf adalah seorang saudagar kaya, namun ia rela meninggalkan harta kekayaannya di Makkah demi menjaga iman. Suatu ketika Qais berkata kepadanya, “Aku berikan separo hartaku untukmu. Aku juga memiliki dua orang istri, aku beri kamu bagian satu orang.” Namun Abdurrahman bin ‘Auf menjawab dengan penuh ketegasan, “Aku tidak memerlukan itu, tunjukkanlah pasar padaku.” Abdurrahman lalu pergi ke pasar dan mulai saat itu ia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya dari usaha tangannya sendiri.
Menakjubkan, bukan? Begitulah, dan sudah sewajarnya orang yang berusaha mandiri, berusaha mencukupi kebutuhannya dengan mengoptimalkan potensi dirinya dengan usaha yang produktif. Mereka layak memperoleh penghargaan yang pantas sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Barang yang paling bagus dimakan seseorang adalah yang merupakan hasil kerjanya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad). Juga diungkapkan dalam hadits lain, “Barangsiapa di malam hari merasa letih karena bekerja dengan tangannya, maka di malam itu ia memperoleh ampunan Allah.” (HR. Ahmad)
Produktifitas yang mesti dihasilkan seorang Muslim, meliputi dua hal yang menyangkut kebutuhannya selama di dunia dan juga kebutuhan mempersiapkan bekal di akhirat. Sehingga kerja yang dilakukan harus memperhatikan kaidah-kaidah yang ditetapkan. Keduanya semestinya dapat dilakukan secara seimbang, demi tercapainya tujuan Islam.
Maka porduktifitas bagi seorang Muslim harus diikuti dengan perhatian mengenai berbagai aturan (syariat) yang telah ditetapkan Allah. Jika menyimpang dari ketentuan dan aturan itu, yang terjadi justru kesempitan. Karena hasil dari prodfuktifitas seorang Muslim tidak hanya mementingkan kuantitas akan tetapi juga kualitas atau dalam kita kenal dengan keberkahan. Hasil yang sedikit penuh keberkahan lebih baik ketimbang hasil melimpah tetapi diperoleh dengan cara-cara curang.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Thaahaa [20]: 124)
Setiap orang memiliki potensi yang menonjol dalam dirinya, untuk itu Allah menganjurkan agar manusia bekerja sesuai potensi itu, sehingga akan mendapatkan hasil yang maksimal. “Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Al-Israa’ [17]: 84)
Kerap kali, produktifitas tersebut harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan rintangan. Dan semestinya seorang Muslim pantang untuk menyerah. Jalan menuju kesuksesan itu memang penuh liku, kadang terjal dan berduri. Hanya orang yang benar-benar memiliki visi yang kokoh, kesabaran, ketegaran dan ketekunanlah yang akan mampun menggapainya. Bekerja dengan sungguh-sungguh Allah berfirman, artinya, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (Al-Hajj [22]:78) dan mengoptimalkan potensi diri yang ada. Allah berfirman, artinya, “Katakanlah: ‘Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula).” (Al-An’aam [6]: 135)
Maka jadilah seorang Climbers --meminjam istilah Paul G. Stoltz dalam Adversity Quotient-nya. Mereka selalu siap bangkit menghadapi tantangan demi tantangan. Karena apapun hasil dari sebuah usaha (ikhtiar) bagi seorang Muslim selalu akan berdampak positif bila disikapi secara benar. Jika mengalami kegagalan, maka kesabaran akan mengubahnya menjadi amal shaleh, bila yang didapat hasil yang memuaskan, maka kesyukuran akan mengundang keberhasilan lainnya.
Di sinilah sebetulnya sebuah proses itu dihargai, karena mengenai hasil produktifitas yang kita lakukan, hanya Allah yang berhak menentukan. Kewajiban kita setelah berusaha adalah bertawwakal. Karenanya seorang Muslim tidak boleh takut untuk memilih pekerjaan yang baik dan halal meskipun sulit dan hasilnya sedikit. Allah berfirman, artinya, “Katakanlah: ‘Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah [3]: 100). Dan perlu diingat, niat yang baik tidak menjadikan yang haram menjadi halal.
Perilaku dan pesan yang disabdakan Rasulullah Saw. juga mencerminkan bagaimana seorang Muslim harus benar-benar mengoptimalkan potensinya dalam produktifitas kerja. Termasuk perbuatan tercela jika seorang hanya berdiam diri, tidak melakukan kerja untuk dunia, maupun kerja untuk akhirat. Di antara sekian pesan Rasulullah itu adalah, agar jangan tidur di waktu pagi “Jika telah melakukan shalat di waktu pagi (shubuh) maka janganlah kamu tidur (sehingga tidak sempat) mencari rizki-rizkimu.” (HR. Thabrani)
Dalam sabda yang lain, “Berpagi-bagilah untuk mencari rizki dan kebutuhan-kebutuhan, sebab pagi itu membawa berkah dan kesuksesan.” (HR. Thabrani)
Nah, selayaknya seorang Muslim betul-betul menggunakan potensinya dalam kerja yang produktif sehingga akan membawa manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dan itulah sebaik-baik manusia. Wallahu a’lam.

Oleh: Eko Triyanto
Alumnus UIN Sunan Kalijaga
Mahasiswa Ma’had ‘Ali bin Abi Thalib Yogyakarta
Email: eko_nomisyariah@telkom.net
Sent to: very_jogja@yahoo.com

Istiqomah dalam Inkonsistensi

Ramadhan yang lalu, beberapa sahabat mengirimkan Short Message Service (SMS) yang isinya hampir sama. Intinya ajakan melakukan shalat tahajjud dan memanjatkan doa untuk saudara kita di Manokwari yang menurut berita akan dijadikan sebagai kota injil. Berikut dengan segala konsekuensi yang merugikan umat Islam. Awal mendapat SMS rasanya biasa saja. Toh, saya sudah mendapat kabar itu sekitar setahun lalu. Entah mengapa baru sekarang umat Islam bereaksi. Reaksi yang terlambat pikir saya. Ada beberapa dugaan mengapa demikian. Pertama, umat Islam belum menjadi ‘generasi Iqra’’. Generasi yang suka membaca. Kedua, kalau pun sudah, sumber informasinya patut diteliti. Stasiun TV mana yang ditonton, koran dan majalah apa yang dibaca. Boleh tahu, bahwa sebagian besar media massa (TV, Koran, Majalah, dll) kerap berbuat tidak adil kepada umat Islam.
Tapi saya yakin pernyataan terlambat itu akan dibantah, ‘Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.’ Padahal dalam berbagai perintah, Allah dan Rasul-Nya sering menggunakan kata, ‘bersegeralah!’ Pun seorang Muslim diperintah untuk bertafahum tentang kondisi saudaranya.
Mendapat sms lagi, saya mulai bereaksi, saya balas dengan menulis kira-kira begini. ‘Umat Islam ini cenderung reaktif dalam menanggapi persoalan. Tapi tidak bisa konsisten’ SMS yang pedas saya kira, buktinya si pengirim yang anonim itu justru menyalahkan saya…
Ya, saya merasakan bahwa sebetulnya umat ini masih memiliki ghirah (kecemburuan) saat agamanya merasa dilecehkan, terancam atau dizalimi. Tetapi tidak bisa menjaga ritme untuk waktu yang lama. Kasus kartun yang melecehkan Rasulullah menjadi bukti. Beberapa saat setelah berita itu menyebar ke seantero jagad, aksi anarkisme tak bisa dicegah. Kedutaan Denmark di berbagai tempat medapat teror bahkan ada yang dibakar. Disusul kemudian seruan boikot produk-produk Denmark. Untuk ini di Timur Tengah dampaknya sangat dirasakan. Sampai-sampai perusahaan-perusahaan Denmark harus membuat iklan ‘pembelaan diri dan meminta maaf’. Itu berlangsung beberapa saat. Lalu surut. Dan ketika untuk kali kedua kartun itu dimuat lagi, tak ada orang yang berteriak selantang dulu. Media pun seperti menyimpannya rapat-rapat dalam kotak ‘off the record ’
Siapa yang peduli???
Inkonsistensi, kata itu bisa mewakili keadaan sebagian umat Islam saat ini. Ketika Al Quran dengan tegas menganjurkan berislam secara kaffah namun masih terlalu banyak alasan untuk mengabaikan atau paling tidak menunda untuk sementara sebagian perintahnya. Padahal perjuangan Islam tidak bisa parsial.
Sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Al Quran dan mau mengajarkannya, begitu disebutkan dalam sebuah hadis. Tapi bukan berarti semua orang harus mengajarkan agama, mengajarkan Al Quran, berdakwah, mengajak orang beribadah. Karena pada kesempatan lain Rasulullah memotivasi orang terbaik di antara kamu adalah yang paling bermanfaat kepada orang sebanyak-banyaknya. Itu artinya, harus ada yang memikirkan ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Sehingga wajah Islam akan bisa kita jumpai di segenap elemen kehidupan. Bukan hanya di masjid atau mushalla…
Inkonsistensi. Seorang ustadz yang fasih berbicara anti kristenisasi dan anti yahudi, beristirahat sambil leyeh-leyeh menyulut rokok Mallboro, ditemani sekaleng Coca-Cola. Dan pada akhir pekan, dengan hati seringan awan mengenakan Nike saat keliling Carrefour. Tidak sadar bahwa dia telah berinvestasi kepada kaum kafir untuk membeli peluru, yang menjadi sebab syahidnya saudara mereka di Palestina, Afganistan, Kosovo dan banyak negeri Muslim lainnya.
Inkonsistensi. Kita rindu dengan syariat Islam, tetapi tidak bangga dengan ‘ideologi’ Islam. Lihat saja asas-asas partai-partai berplatform atau mengaku mewakili kelompok Islam yang diharapkan menyuarakan aspirasi umat. Mereka takut dengan kata-kata ‘Islam’. Kita lebih bangga dengan ideologi ashabiyah, dan merasa benar sendiri. Sindrom ‘merasa benar’ adalah awal ketertutupan wawasan dan sumbatan bagi ilmu. Kita masih saja berlaku demikian. Begitu bangga!
Tentang ukhuwah. Kata itu begitu indah didengar. Dan tentu saja mudah untuk diucapkan. Tapi mewujudkannya, butuh komitmen yang lebih. Muslim itu bersaudara, tak peduli asal sukunya, warna kulit, bahasa, atau segala rupa. Pun dari negara mana. Muslim sedunia adalah saudara, satu tubuh, satu bangunan yang saling melengkapi. Saling merasa bila cidera, saling mengerti bila terzalimi. Tapi apa lacur, bahkan kita acuh dengan kondisi mereka. Menutup mata tanpa merasa berdosa. Membiarkan mereka berjuang dalam ketidakberdayaan. ‘Biarkan Tuhan yang menjaganya.’ Kalimat itu rasanya tak pantas diucap. Sedang Allah pun mengutus laba-laba sebagai perantara menutup gua, saat Ia menolong Rasul mulia.
Selama umat Islam masih istiqamah dalam inkonsistensi. Tidak mau merubah diri dan cara berpikir secara global (khilafah). Enggan, bahkan cenderung acuh dengan kondisi saudara Muslim di luar wilayah mereka. Tanpa bermaksud meniadakan kekuatan Allah, rasanya jalan menuju kejayaan itu masih jauh. ‘hatta yu ghayyiru ma bi anfusihim.’
Wallahu a’lam bi shawwab.
Dari Ibnu Hamdani untuk umat Muslim sedunia.

Jumat, 21 November 2008

Mendengarkan Efektif

MENDENGARKAN EFEKTIF

According to the research is to listen to the way most people do in communicating. This important skill for domination, not because someone is rarely successful in the field of education, social, professional / career is determined by how many techniques they listen to the message delivered speaker. But often the limited time that you can absorb as many messages as possible in the time (effective). For that, there are some things you need to yan note that the message can be captured effectively in them: time: If you do not have the time to listen to better put somethingî bright than you listen with only half-hearted or compel the speaker to accelerate the conversation. Be prepared to listen: Do not medengarkanî with a number of ideas or reluctance to change, open yourself to receive the opinions of others. : centralizing your thoughts on theîNoting the good subject and the messages and provide feedback (feedback). mainîHearing ideas: Try your search for what became the core of the message delivered speaker. Listen to this "hidden": namely that things may not be saidî directly (verbal), but you can catch through non-verbal messages in the form of high-low tone of voice or visual signal-signal (face expression, movement body, hand signal, etc.) Be patient: Do not urgent that the speaker and theî intended meaning of the speaker before completing the conversation. Hilangkanlah tendency for you to assess what you hear (prejudice) before you hear all. î concentration: Do not keasyikkan by your own mind, I ignore other problems, centralizing your mind on the speaker and his message. react fairlyî against the speaker. If the speaker boring, focusing attention on the content of your message and avoid excessive reactions even if you do not like the speaker. react to a reasonable message: Tahanlah feeling you listen to all messagesî delivered speakers (do not laugh, cry, etc.). That is some "moment" that you can apply to listen effectively, so that you can capture the message delivered by a maximum.

Islamica

The Ulama 'Alim No doubt, the position of Islamic theologian in a place special. Because of their advantages in knowledge, people become role models. To provide enlightenment at the same time pioneer welfare. Especially in the middle of the wave of globalization, which covered cultural lunturnya permissive and moral values as at this time. Attendance ulama are needed. Messenger never exceed the stated position of ulemas expert worship, "Indeed, the superiority of the learned experts of worship such as prioritized in the month of the entire star. Indeed, the theologian is the heir to the Prophet. And indeed the Prophet did not inherit a dinar, not the Dirham, the only knowledge they inherit. And anyone who takes science, then indeed, he has to get the most part. "(Sahih hadith, No by Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah and Ibn Hibban) Of course, not all ulama meet the criteria mentioned above. Because in reality many of the ulama of religious attitudes and behavior but does not reflect a wise. They tend to make people confused, which is still 'the public. Ulema in the category that includes word in the face of the ulama 'pi. Ulema who understand the science about religion, not just memorize. With kepahamannya able to possess the wisdom and solutions to the problems faced by the people. Not exactly exploit the advantages that are owned by the meraup profit or private groups. Moreover, dare to sell the verses of the Quran and al keulamaannya status for the position. Skill in speaking is not a measure in assessing the ulama 'pi. Because of that ability can be so precisely to create a so-free turn back the word appropriate personal desire. Significance of this was disclosed by Ibn Mas'ud ra .. "Surely you are in an era where the number of ulamanya very much and little khutbahnya carpenters, and surely will come a period of very many khutbahnya amount of carping but little ulamanya." Now we need a parson 'pi. That not only preach in a smart, but also understand the science and religion is able to apply to fakihan it in the real reality. To provide Keteladanan "Indeed, there have been in the (self) Messenger is a good example for us (is) for those who expect (Mercy) and God (arrival) and the Day of Resurrection, he mentions many of God." (Al-Ahzab [33]: 21) This nation is saturated with a speech without realization. Saturated with quote verses of God as a stop at the lip penyeru propaganda. The people need to keteladanan in the form of life. Until now, not many people see Islam as a solution. Allah clearly states that only Islamlah which can be a road to salvation for mankind, in the world and in the Hereafter. Even less is not Islam itself would not fully accept the teachings of Islam despite the da'i theologian and no stopping explain how the teachings of Islam's in it. The people need more evidence. They talked about who's in it is more Islamic. However, people who could be a good example may be limited. But the need for the ulama take part in providing evidence of the beauty of Islam with the behavior that they do to people on the other. "A 'ulama who practice without such lights burn himself." (HR. Dailami) One of human nature is affected and affect (yata-atsar of yu-atsir). So that most human behavior is influenced by the environment. Messenger reminded, "A person is dependent on how i religion. Therefore you should consider who become friends.. " In other word out of a Messenger who are friends with the seller of perfume and a pande friends with iron. Keteladanan is the most effective way of propaganda. And this is the example of the Prophet Muhammad. When the western nations to spread Islam with sword. But the sword is a keteladanan and akhlakul karimah. Sword that is able to overcome without hurt, humiliate and subjugate without achieve victory without a feel humiliated. Looking only light of God "A 'pi if willed by God's light, the knowledge he can be by everything, and if he intends to accumulate wealth, they will be afraid of everything." (HR. Dailami) 'Ulama of' holy places the light of God in the highest position in each of the basic behavior. They are no longer affected by the worldly temptations that will quell violent propaganda. They will not be able to be purchased by anyone and anything. Because the ulama, to borrow the term Buya Hamka, has terbeli. The God is with the price that is not half-hearted: Paradise! "Allah has bought from the believers themselves and their property by giving them to heaven." (At Taubah [9]: 111) Quite ironic if we now witness the many people who claim themselves as a theologian, or regarded as role models tend to compete busy contend worldly affairs. 'Ulama such instead of good for people, which occurred even vice versa. Messenger, have been about this. "Woe on my Ummah from the poor parson." (Judges HR.) In other word mentioned, "When you see a theologian mingle closely with the authorities know that he is a thief." (HR. Dailami) May Allah give bounty in the middle of this nation with a theologian to bring light into the darkness, to bring the words heard in the conversation, attitudes and behavior. "Indeed, the fear of God among His slaves, but theologian." (Faathir [35]: 28) Wallahu a'lam bi shawwab. Eko Triyanto Students Ma'had 'Ali bin Abi Talib UMY Chairman of the Forum Study of Islam and Science 'Remassa' Yogyakarta Email: eko_nomisyariah@telkom.net Phone: 085228170077 Address: Nanggulan Sendangagung Minggir Sleman 55,562

Episode Perpisahan

Episode Perpisahan
Eko Triyanto

Dik.
Tentu kau dengar
Dentum meriam merajam-rajam
Merobek kadamaian yang semestinya kita genggam
Dalam senyap ia memanggilku lirih: Majulah ke garis depan

Dik.
Apakah masih ada yang perlu dikenang
Dari pertemuan-pertemuan kita kemarin
Sebelum semua benar-benar usai
Pada episode perpisahan yang sebentar lagi kita pentaskan
Kukatakan padamu: Sudah saatnya aku pergi

Dik.
Ada yang tersentak di relung dada, bergemuruh
Meluruhkan ketegaran yang ku bangun berabad-abad
Kini ada duka yang entah berapa dalamnya
Kini ada sepi yang tiba-tiba hadir
Terlalu cepat dari yang kita duga
Waktu telah memaksaku berucap: Selamat tinggal

Dik.
Bila saja nanti suatu masa
Ada rindu mengharu biru
Tataplah rembulan
Akan kau rasa sinarnya sayu berkaca-kaca
Di sana ada impian, harapan juga kemenangan abadi

Dik.
Beribu maafku bila nanti
Guratan nasib tak menghendaki, kita bertemu lagi
Sebab kematian yang bagiku seperti awal kehidupan
Selalu lebih dekat dari nadiku
Relakan aku pergi mengulang tidur tanpa mimpi

Dik.
Maafkan aku, jika saja tak mampu kupersembahkan
Setangkai flamboyan seperti pernah kau pesan
Sekali lagi kukatakan: sudah saatnya aku harus pergi
Menjemput impian, harapan, dan kemenangan
Atau setidaknya menunda sebuah kekalahan.


Nanggulan. Agustus 2003

Catatan Harian

CATHAR ANNIDA

SAHABAT-SAHABAT KECILKU
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengajarkannya.” [Rasulullah Saw.]

03 MARET 2003
Alhamdulillah. Ry, Eko bersyukur banget kegiatan TPA bisa jalan lagi, setelah sempat ‘pingsan’ hampir satu tahun. Tapi kini Eko masih sendirian. Temen-temen seperjuangan udah pada pergi. Ada yang sibuk kerja, ada yang merantau, ada yang udah nikah (ayo semangat lagi dong!!), ada juga yang udah nggak mau gabung lagi. Kenapa ya? Sibuk kali atau…awas jangan suudzan!!
Hari pertama masuk keadaan masih semrawut, belum ada jadwal ustadz, jadwal materi, jadwal piket de el el. Buku absensi juga belum bikin, terpaksa dech pake buku catatan. Dan… oh ya sekarang tempatnya pindah ke Masjid lho. Nggak lagi di rumah Pak Nasirun, takut ngerepotin. Kalo’ hari masuknya tetep sama, Senin sampe Kamis.
Nggak nyangka ya, jeda satu tahun udah ngerubah semuanya. Ustadznya pada pergi, trus santrinya sebagian udah malu TPA lagi, udah ngerasa gede. Lho, padahal ngaji Al-Qur’an khan nggak dibatasi umurnya. Sampe kakek-nenek pun masih boleh.
Ry, Eko, kini harus merintis lagi dari awal. Bisa nggak ya? Tapi Eko masih ingat nasehat dari buku yang pernah Eko baca, dengan niat karena Allah dan kesungguhan, pasti Allah akan memberi kemudahan. Seperti janji-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Ankabut: 69]
Bismillah...

04 MARET 2003
Hari kedua masuk, tambah rame aja. Sahabat-sahabat kecilku (SSKku) makin semangat ngajinya. “Kamu sendiri gimana, Ko?” ‘Afwan, Eko rada nggak konsen. Santri begini banyak, ngajarnya sendirian. Trus ntar kelar jam berapa? Padahal hari selasa gini, ada jadwal main bola ma temen-temen. Ah, pusing. Tapi gimana lagi. Terpaksa dech Eko pakai jurus ‘langkah seribu’ atau kalo pak pos bilang, kilat khusus, he..he..he.. Tapi kasihan juga sich SSKku ada yang belum paham, terpaksa ditinggal. Besok harus ngulang lagi (rasain, lu).
Tapi Eko selalau berusaha menghibur diri. Biar semuanya tetep berjalan baik dan lancar, Eko inget perintah Allah, “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushilat; 35)
Apa ini emang cobaan ya, Eko harus bisa milih mana yang lebih berharga: main bola atau ngajar TPA. Kalo’ bisa sich dua-duanya jalan…

15 APRIL 2003
Eko lihat jarum jam di tangan udah nunjukkin pukul 14.30. Apes bener nich. Dosen yang biasanya keluar setengah dua, molor sampe jam segini. Buru-buru Eko menstarter motor. Sampai rumah udah jam tiga lebih dikit. Padahal kalo’ keadaan normal dari kampus ke rumah bisa ngehabisin waktu satu jam!
Bergegas Eko ke Mesjid. Duh, SSKku udah pada nunggu tuh, kaya’nya sih udah nggak sabaran. Langsung aja Eko suruh mereka wudhu dan sholat ‘Ashar. Eko menyampaikan materi dengan agak loyo. Maklum badan udah capek, pikiran udah nggak fresh lagi. Akibatnya banyak yang nggak merhatiin.
Brakk! Meja paling depan Eko pukul dengan keras. Lalu meluncurlah kata-kata yang kurang enak didengerin. Semua diam. Astagfirullah. Kenapa Eko harus marah kepada mereka. Padahal mereka tidak bersalah sedikitpun. Eko menatap wajah-wajah mereka yang lugu. Masih bersih dari dosa!!. Ah, Eko jadi tambah ngerasa bersalah.
Habis bubaran Eko langsung masuk ke mesjid. Nangis. Cowok nangis gara-gara anak kecil !! Ini nggak lucu kan?
Tapi begitulah Eko sering nangis sendiri kalo’ merasa gagal ngajar. Lalu berkecamuk dalam pikiran Eko, kenapa sih si Anu yang udah hidup enak, bisa baca Al-Qur’an dengan bagus dan punya banyak waktu nggak mau meluangkan waktu sedikitpun untuk mendidik adik-adikya. Padahal Eko udah berusaha mengetuk hati mereka. Ya, Allah… Kalo’ udah gitu Eko buru-buru bikin kesibukan daripada mencari-cari kejelekkan orang lain.
Barangkali mereka hatinya belum terbuka.

ENAM BELAS APRIL DUA RIBU TIGA
Agak bimbang, Eko memasuki pelataran Masjid. Eko masih trauma insiden kemarin. Di luar dugaan, meja sudah tertata rapi seperti biasa. Lantai, papan tulis, udah bersih. Alhamdulillah mereka nggak ngambek. Hati Eko bener-bener tersentuh, ternyata mereka nggak dendam, ah betapa mulianya hati kalian. Padahal tahu sendiri kan, bagaimana kalo’ ada orang dewasa yang lagi nggak sreg, bisa jadi satu tahun nggak saling nyapa. Minta maaf aja nunggu lebaran. Keburu lupa. Padahal Nabi ngasih batas maksimal tiga hari.
Sekarang SSKku jadi lebih anteng dari biasanya, mungkin ini efek dari kejadian kemarin. Tapi mudah-mudahan mereka tidak takut lagi. Emang Eko apaan ??!!

LIMA SEPTEMBER DUA RIBU TIGA
Duh, gembira banget nich. Jadwal-jadwal udah beres trus buku absensi juga udah ada. Tadi sore dapat tambahan personel, ada Siti dan Bu Riyat yang udah mau ngajar. Dan..ehm..ehm, Widya juga ngebantuin ngajar lho!. Rasanya jadi gimana gitu, tambah semangat dan jadi salting sendiri. ‘Heh, Ko! Awas jaga tuh niat biar tetep ikhlas karena Allah. Ntar ada Widya kamu malah jadi riya’ dan beramal hanya untuk menarik perhatiannya aja. Kan nggak ada artinya tuh perjuanganmu. Sia-sia.’
Tapi Insya Allah jelek-jelek begini aku masih inget: keikhlasan itu jadi salah satu landasan dalam beramal, “Barangsiapa yang berharap menemui Tuhannya, (di akhirat untuk menerima pahala, balasan dan karunia dari pada-Nya), hendaklah ia mengerjakan pekerjaan yang baik dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya dengan siapapun.” [Al-Kahfi: 110]
Moga-moga mereka mau ngebantuin lagi, untuk seterusnya. Jadi TPA-nya bisa kelar lebih awal, nggak nyampe jam lima. Lumayan, masih bisa main bola atau Badminton. Asyiik !!!

29 SEPETEMBER 2003
Ada anak baru, masih iqra’ jilid satu. Katanya sih udah kelas 4 SD tapi ya ampun jilid satu aja susahnya nggak ketulungan. Beda dengan si Ade’ yang masih TK tapi udah nyampe jilid 3. Hus, Eko jahat ya. Mbanding-mbandingin kaya’ gitu kan nggak boleh. Tiap manusia emang punya kemampuan yang berbeda-beda. Daya tangkapnya pun nggak sama. Jadi ya, Harap Maklum.
Tapi Alhamdulillah hari ini ada tambahan personil. Eko ditemeni Pur dan Udin. Dan sekarang Eko nggak khawatir lagi, soalnya jadwal ustadznya udah jalan dikit-dikit. Tiap hari pasti udah ada ustadz yang ngajar meski Eko nggak datang. Beban Eko jadi berkurang.
Selain tambah ustadz kini juga ada kebiasaan baru. ‘Lempar-lemparan santri’. Kalo’ kebetulan Eko dapat giliran ngajar santri yang rada susah nangkepnya. Diam-diam, Eko akan pindahin tuh kartu santri, biar diajar ustadz yang lain. Jahat ya.

04 JANUARI 2004
Habis lebaran TPA masuk lagi. Inilah saat yang menyedihkan hati. Eko harus kehilangan lagi temen-temen seperjuangan. Widya udah lulus kuliah dan mesti pulang ke Sukabumi, Mba’ Nur dan Wanto udah kerja, Haryono diterima jadi polisi dan harus tugas di propinsi lain, Gandung udah sibuk kerja. Mba’ Wuri udah nikah. Kini tinggal Eko, Siti, Etty, Pur dan Udin.
Tambah sepi nih, tapi Eko nggak boleh patah semangat kan? Eko yakin akan ada lagi para pejuang-pejuang lain yang rela berkorban di jalan Allah. Untuk menggantikan mereka. Ya walaupun Eko sadar baru segini pengorbanan Eko dan temen-temen untuk menegakkan agama Allah. Eko harus tetep istiqamah.
Oh, ya, tadi sore ada kejadian yang bikin Eko, terharu. SSKku pada kompak minta maaf sama usatdz-ustadznya. Lho, padahal kamilah yang seharusnya minta maaf, sebab sering marahin mereka. Eko jadi malu sendiri. Eko dapet pelajaran dari mereka ternyata minta maaf itu nggak membuat seseorang jadi terhina, bahkan sebaliknya. Makasih ya adik kecil.

05 FEBRUARI 2004
Nggak terasa hari ini udah milad TPA ke 3, nggak ada acara khusus, paling-paling pengurusnya (yang udah pada nggak aktif)juga udah pada lupa, kalo’ tiga tahun yang lalu, tepat tanggal ini, TPA ‘Sabiilul Muttaqiin’ berdiri. Udah banyak suka duka yang Eko alami selama ngajar TPA. Kadang dongkol, marah, eneg, bosan de el el. Tapi kadang juga seneng, lega, lucu ngelihatin tingkah SSKku yang lagi pada main. Semoga saja mereka kelak menjadi generasi Islam yang tangguh. Berbakti pada orang tua, bisa berguna bagi agama, bangsa dan negara. Yah, walaupun Eko tahu apa yang Eko lakukan mungkin tidak berarti apa-apa buat mereka.
Oh, ya. Tadi sore si Irvan ‘bandel’ bikin ulah lagi, berani-beraninya tuh anak bawa ulat ke Mesjid, karuan aja para santriwati pada njerit histeris. Terpaksa dech Eko kasih hukuman buat dia. Hukumannya nggak berat kok, Cuma Kho suruh ngapalin do’a habis sholat Dhuha.

14 FEBRUARI 2004
Hari ini Eko nggak tahu, mesti sedih atau seneng. Skripsi Eko udah beres, sambil nunggu wisuda, Eko terpaksa pulang ke Bandung, biar ngirit biaya. Pas pamitan, Eko nggak sanggup nahan tangis. SSKku juga pada kelihatan sedih, ada yang nanya: ‘Kenapa sih kakak harus pergi?’ bikin Eko tambah nunduk.
Kalian belum tahu, kadang sebagai manusia kita dihadapkan pada pilihan yang sulit. Eko, nggak tahu keputusan Eko pulang ke Bandung ini baik atau buruk. Tapi Eko harus berani ngejalanin karena itu pilihan Eko. Eko hanya minta pada Allah agar Eko tidak berubah, mudah-mudahan di Bandung nanti Kho tetep rajin ngaji seperti di Jogja. Bukankah dakwah bisa dilakukan dimana saja?
Selamat tinggal Jogja, Selamat tinggal SSKku. Udah banyak yang kalian ajarkan kepadaku. Eko minta maaf pada kalian kalo’ selama ini Eko banyak nyakitin hati kalian. Ngajinya tambah rajin biar cepet diwisuda.
Dan buat temen-temen seperjuangan, lanjutkanlah langkah kalian, Allah menyertai kalian semua. Jika Allah menghendaki, Insya Allah kita akan bertemu lagi. Sampai jumpa.

Kamar Sunyi, 2004
Salam perjuangan buat sobat-sobat Eko dimana saja yang masih setia menjadi dosen-dosen TPA. Ingatlah sabda Rasulullah, ‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar AlQuran dan mau mengajarkannya’.
Salam manis juga buat SSKku.