Sabtu, 09 Mei 2009

PAMRIH

Rame ing gawe sepi ing pamrih. Begitu filosofi orang Jawa yang sarat makna. Artinya dalam berbuat hendaknya lebih mengedepankan karya maksimal tanpa terpengaruh imbalan yang akan diterima. Menunaikan kewajiban tanpa terpaku dan terpengaruh pada hak yang akan diperoleh. Dalam konteks kebangsaan sering kita dengar ungkapan, ‘Tanyakan apa yang telah kau berikan pada negerimu jangan kau tanya apa yang telah kau peroleh darinya’.
Pamrih, adalah suatu yang lumrah sebagai motivasi membangkitkan gairah dalam bekerja/berkarya dan beramal. Tetapi bisa juga menjadi sesuatu yang tidak lumrah jika salah dalam penerapannya. Hampir semua aktifitas yang dilakukan manusia sebenarnya mengandung pamrih. Apapun itu. Bisa berupa materi dan non-materi. Lihatlah orang yang lalu lalang di jalan-jalan, kemana mereka hendak pergi? Tentu mereka ingin mencari pemenuhan terhadap kebutuhan dan keperluan masing-masing. Semuanya punya pamrih.
Dalam ibadah pun tidak luput dari adanya pamrih. Meskipun kita telah memproklamirkan diri untuk menyerahkan hidup, mati dan segala amal ibadah hanya untuk Allah semata. Coba kita tanya diri kita masing-masing, untuk apa sebenarnya kita beramal shaleh. Untuk apa kita sholat, zakat, shadaqah, berdakwah dan berbuat baik pada orang lain. Mungkin akan muncul beragam jawaban. Namun secara umum orang beramal shaleh dengan pamrih tertentu. Entah mencari pahala agar bisa masuk surga dan terhindar dari neraka atau sekedar menggugurkan kewajiban. Semua itu masih dianggap wajar karena memang baru demikian tingkatan kita.
Tidak demikian halnya dengan sufi wanita terkenal, Rabi’ah al-Adawiyah. Ia beramal bukan mencari pahala melainkan mencari Sang Pemberi Pahala itu sendiri yakni Allah. Ia justru berharap surga akan menolak dirinya jika ibadah yang dilakukan sekedar ingin dapat masuk surga. Sebaliknya ia juga rela dimasukkan ke neraka bila ibadahnya hanya karena takut neraka.
Memang adakalanya pamrih menjadi sesuatu yang tidak lumrah. Tidak pantas. Semasa Rasulullah Saw hijrah ada seorang sahabat yang ingin ikut berhijrah. Ia seperti sahabat pada umumnya pun berhijrah dengan harapan dan pamrih. Bedanya ia punya pamrih yang terlalu remeh. Jika orang lain hijrah karena mengharap ridha Allah, ia justru berhijrah karena harta dan wanita. Kemudian Nabi mengingatkan, “Setiap amal perbuatan ditinjau dari niatnya, dan setiap orang berbuat terserah pada tujuannya, maka barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti akan memperoleh keridhaan Allah dan Rasul-Nya (pahala hijrah), dan barangsiapa berhijrah dengan tujuan menghimpun harta kekayaan dunia aatau mengawini seorang wanita yang ia sukai maka sia-sia hijrahnya (tidak berpahala) karena hanya memperoleh harta dan wanita yang dituju.” (HR. Bukhari-Muslim).
Pamrih bisa menjadi perangkap syaitan untuk menghancurkan amal yang telah kita lakukan. Yakni bila kita beribadah dengan pamrih sekedar mendapat keuntungan materi-duniawi, pujian, kehormatan dan sanjungan dari sesama manusia. Allah memperingatkan, “Dan tidaklah mereka disuruh, kecuali supaya menyembah Allah, serta memurnikan keikhlasan agama bagi-Nya (mengharap keridahaan Allah).” (Al-Bayyinah: 5)
Pada masa menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung seperti saat ini (terutama saat kampanye) akan banyak kita jumpai berbagai kegiatan yang digelar untuk rakyat. Banyak bingkisan diobral, banyak bantuan ditawarkan semuanya menghabiskan dana yang tidak sedikit. Alangkah sayangnya jika semua itu dilakukan hanya berorientasi untuk keuntungan materi-duniawi. Berupa kemenangan dalam pemilihan kepala daerah.
Yang pasti, dalam setiap aktifitas yang kita lakukan selalu terselip motif mengharap pamrih. Entah kita sadari atau tidak. Untuk itu kita perlu memilah dan memilih pamrih apa terbaik bagi kita. Tidak lain dan tidak bukan pahala dari Allah dan keridhaan-Nya.


Eko Triyanto
Mahsiswa Komunikasi Penyiaran Islam
Fak. Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: