Jumat, 26 Desember 2008

Istiqomah dalam Inkonsistensi

Ramadhan yang lalu, beberapa sahabat mengirimkan Short Message Service (SMS) yang isinya hampir sama. Intinya ajakan melakukan shalat tahajjud dan memanjatkan doa untuk saudara kita di Manokwari yang menurut berita akan dijadikan sebagai kota injil. Berikut dengan segala konsekuensi yang merugikan umat Islam. Awal mendapat SMS rasanya biasa saja. Toh, saya sudah mendapat kabar itu sekitar setahun lalu. Entah mengapa baru sekarang umat Islam bereaksi. Reaksi yang terlambat pikir saya. Ada beberapa dugaan mengapa demikian. Pertama, umat Islam belum menjadi ‘generasi Iqra’’. Generasi yang suka membaca. Kedua, kalau pun sudah, sumber informasinya patut diteliti. Stasiun TV mana yang ditonton, koran dan majalah apa yang dibaca. Boleh tahu, bahwa sebagian besar media massa (TV, Koran, Majalah, dll) kerap berbuat tidak adil kepada umat Islam.
Tapi saya yakin pernyataan terlambat itu akan dibantah, ‘Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.’ Padahal dalam berbagai perintah, Allah dan Rasul-Nya sering menggunakan kata, ‘bersegeralah!’ Pun seorang Muslim diperintah untuk bertafahum tentang kondisi saudaranya.
Mendapat sms lagi, saya mulai bereaksi, saya balas dengan menulis kira-kira begini. ‘Umat Islam ini cenderung reaktif dalam menanggapi persoalan. Tapi tidak bisa konsisten’ SMS yang pedas saya kira, buktinya si pengirim yang anonim itu justru menyalahkan saya…
Ya, saya merasakan bahwa sebetulnya umat ini masih memiliki ghirah (kecemburuan) saat agamanya merasa dilecehkan, terancam atau dizalimi. Tetapi tidak bisa menjaga ritme untuk waktu yang lama. Kasus kartun yang melecehkan Rasulullah menjadi bukti. Beberapa saat setelah berita itu menyebar ke seantero jagad, aksi anarkisme tak bisa dicegah. Kedutaan Denmark di berbagai tempat medapat teror bahkan ada yang dibakar. Disusul kemudian seruan boikot produk-produk Denmark. Untuk ini di Timur Tengah dampaknya sangat dirasakan. Sampai-sampai perusahaan-perusahaan Denmark harus membuat iklan ‘pembelaan diri dan meminta maaf’. Itu berlangsung beberapa saat. Lalu surut. Dan ketika untuk kali kedua kartun itu dimuat lagi, tak ada orang yang berteriak selantang dulu. Media pun seperti menyimpannya rapat-rapat dalam kotak ‘off the record ’
Siapa yang peduli???
Inkonsistensi, kata itu bisa mewakili keadaan sebagian umat Islam saat ini. Ketika Al Quran dengan tegas menganjurkan berislam secara kaffah namun masih terlalu banyak alasan untuk mengabaikan atau paling tidak menunda untuk sementara sebagian perintahnya. Padahal perjuangan Islam tidak bisa parsial.
Sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Al Quran dan mau mengajarkannya, begitu disebutkan dalam sebuah hadis. Tapi bukan berarti semua orang harus mengajarkan agama, mengajarkan Al Quran, berdakwah, mengajak orang beribadah. Karena pada kesempatan lain Rasulullah memotivasi orang terbaik di antara kamu adalah yang paling bermanfaat kepada orang sebanyak-banyaknya. Itu artinya, harus ada yang memikirkan ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Sehingga wajah Islam akan bisa kita jumpai di segenap elemen kehidupan. Bukan hanya di masjid atau mushalla…
Inkonsistensi. Seorang ustadz yang fasih berbicara anti kristenisasi dan anti yahudi, beristirahat sambil leyeh-leyeh menyulut rokok Mallboro, ditemani sekaleng Coca-Cola. Dan pada akhir pekan, dengan hati seringan awan mengenakan Nike saat keliling Carrefour. Tidak sadar bahwa dia telah berinvestasi kepada kaum kafir untuk membeli peluru, yang menjadi sebab syahidnya saudara mereka di Palestina, Afganistan, Kosovo dan banyak negeri Muslim lainnya.
Inkonsistensi. Kita rindu dengan syariat Islam, tetapi tidak bangga dengan ‘ideologi’ Islam. Lihat saja asas-asas partai-partai berplatform atau mengaku mewakili kelompok Islam yang diharapkan menyuarakan aspirasi umat. Mereka takut dengan kata-kata ‘Islam’. Kita lebih bangga dengan ideologi ashabiyah, dan merasa benar sendiri. Sindrom ‘merasa benar’ adalah awal ketertutupan wawasan dan sumbatan bagi ilmu. Kita masih saja berlaku demikian. Begitu bangga!
Tentang ukhuwah. Kata itu begitu indah didengar. Dan tentu saja mudah untuk diucapkan. Tapi mewujudkannya, butuh komitmen yang lebih. Muslim itu bersaudara, tak peduli asal sukunya, warna kulit, bahasa, atau segala rupa. Pun dari negara mana. Muslim sedunia adalah saudara, satu tubuh, satu bangunan yang saling melengkapi. Saling merasa bila cidera, saling mengerti bila terzalimi. Tapi apa lacur, bahkan kita acuh dengan kondisi mereka. Menutup mata tanpa merasa berdosa. Membiarkan mereka berjuang dalam ketidakberdayaan. ‘Biarkan Tuhan yang menjaganya.’ Kalimat itu rasanya tak pantas diucap. Sedang Allah pun mengutus laba-laba sebagai perantara menutup gua, saat Ia menolong Rasul mulia.
Selama umat Islam masih istiqamah dalam inkonsistensi. Tidak mau merubah diri dan cara berpikir secara global (khilafah). Enggan, bahkan cenderung acuh dengan kondisi saudara Muslim di luar wilayah mereka. Tanpa bermaksud meniadakan kekuatan Allah, rasanya jalan menuju kejayaan itu masih jauh. ‘hatta yu ghayyiru ma bi anfusihim.’
Wallahu a’lam bi shawwab.
Dari Ibnu Hamdani untuk umat Muslim sedunia.

Tidak ada komentar: